![]() |
| Pantai hening dan alami di sekitar Bayah. |
Minggu (3/8) pukul 07.30, setelah sarapan sederhana dengan menu dodongka (awug) di depan hotel, kami bersiap melanjutkan perjalanan menuju target berikutnya. Tedi meminta untuk mampir di hotel Samudera Beach, dengan tujuan “mengirim oleh-oleh” kepada istrinya, berupa foto ornamen pahatan batu yang ada di hotel tersebut, yang merupakan hasil karya Pak Harijadi, pakde istrinya.
Sesampainya di hotel, tepat di sebelah lobi hotel kami disambut dengan keindahan ornamen pahatan batu yang begitu megah. Ukurannya luar biasa: selebar dinding kolam ikan, dengan tinggi sekitar tiga meter dan panjang kurang lebih lima belas meter. Ukuran ini hanya perkiraan, karena pada saat itu tidak terpikir untuk kami mengukurnya secara tepat.
Di sudut bawah ornamen tersebut terukir tahun pembuatannya, 1964, beserta nama-nama senimannya, termasuk Pak Harijadi dan Pak Darmo, ayah mertua Tedi. Ornamen ini tidak hanya menonjolkan keahlian para senimannya, tetapi juga menegaskan nilai sejarah dan estetika hotel yang telah menjadi ikon wisata klasik sejak era 1960-an.
Puncak Habibie
Sejak meninggalkan hotel Samudera Beach, perjalanan gowes melewati sungai-sungai yang cantik, aspal mulus, dan pemandangan laut yang memanjakan mata. Dari bawah terlihat jajaran warung yang menjadi tanda bahwa kami semakin mendekati Puncak Habibie, titik tertinggi dalam rute perjalanan kali ini. Ai, sebagai marshal atau pemimpin rombongan, menjelaskan beberapa hal mengenai lokasi tersebut.
Puncak Habibie, dahulu puncak ini dikenal dengan nama Puncak Kembang, kemudian dinamai Puncak Habibie setelah pada tahun 1990, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang kala itu dipimpin oleh Prof. Dr. BJ Habibie, membangun radar udara di sana (Tempo.com, 2019). Puncak Habibie saat ini berada pada ketinggian 380 mdpl, tersusun dari batu gamping (limestone). Batu gamping (kadang disebut batu kapur) adalah jenis batuan yang terbentuk di laut yang jernih dapat ditembus sinar matahari, umumnya pada kedalaman 15–30 meter.
![]() |
| Menikmati segarnya kelapa muda menjelang Puncak Habibie. |
Fakta bahwa sekarang Puncak Habibie berada di 380 meter menunjukkan bahwa tempat ini telah mengalami pengangkatan dari kedalaman 15-30m di bawah laut ke ketinggian 380 mdpl. Artinya wilayah ini telah mengalami pengangkatan setinggi 400 m sejak pembentukannya.
Dari Puncak Habibie, terlihat pemandangan Teluk Palabuhan Ratu yang memukau. Jalan menuju puncak menanjak cukup panjang, menuntut kekuatan fisik dan mental tiap anggota rombongan. Beruntung, kami bertiga relatif seimbang dalam kekuatan gowes, meski pacing sedikit berbeda sesuai usia: Tedi 60 tahun, Sulis 61 tahun, dan Ai 62 tahun. Bila ada yang tertinggal, kami menunggu, biasanya tidak lebih dari 10–15 menit.
Cuaca dan suhu udara menjadi faktor penting. Terik matahari sangat terasa antara pukul 12.30–14.00. Pada saat itu, kami memilih beristirahat agak lama, menikmati makan siang sambil menunggu suhu sedikit lebih sejuk. Target jarak atau lokasi kesampaian pun tidak mutlak; kami lebih cenderung targetnya berbasis waktu yang merupakan fungsi dari jarak tempuh, elevation gain, cuaca dan kondisi fisik kami.
Menjelang siang, ketika kami mendekati Puncak Habibie, panas yang menyengat memaksa kami berhenti di sebuah warung makan, sekitar 300 meter sebelum puncak. Setelah menikmati istirahat, kami melanjutkan perjalanan menuruni puncak.
Namun, saat melewati Cibareno, sekitar pukul 15.00, hujan deras turun. Kondisi ini tidak aman untuk bersepeda, karena kami berisiko tidak terlihat oleh pengendara kendaraan bermotor. Kami pun berteduh sambil menyeruput kopi di Warung Intan, menunggu hujan reda.
Hujan tidak kunjung berhenti hingga pukul 17.30, sementara di desa tersebut tidak ada penginapan. Disepakati untuk loading sepeda sekitar lima kilometer menuju Desa Cilograng, yang kabarnya memiliki fasilitas penginapan. Desa Cilograng sejuk dan tenang, namun cukup kecil. Satu-satunya penginapan yang kami temui berupa rumah kos ternyata penuh.
Memasuki waktu Maghrib, kami menuju Masjid Al-Furqon, masjid terbesar di desa. Kami menunaikan sholat dan meminta izin menumpang tidur. Jamaah masjid dan penduduk setempat menyambut kami dengan ramah. Banyak yang membuka dialog, menanyakan asal-usul kami dan kegiatan gowes yang sedang kami jalani. Suasana hangat ini memberikan pengalaman berbeda, bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga pengalaman sosial yang memperkaya perjalanan kami.
![]() |
| Sulistya Pribadi di Muara Binuangeun |
Sawarna, Sumur, Malingping, Taman Jaya
Nama-nama Sawarna, Sumur, Malingping, Taman Jaya, Saketi, dan Menes cukup akrab bagi para penggemar wisata ke Ujung Kulon. Dalam perjalanan kami kemarin, hampir semua nama itu kami lewati, termasuk Pantai Bayah, Muara Binuangeun, Saketi, Pandeglang, Rangkas Bitung, dan seterusnya. Nama-nama tersebut terasa eksotis dan sekaligus nostalgik bagi kami, mengingat perjalanan lama yang pernah kami lakukan puluhan tahun silam.
Teman Sulis di Mapala UI, yang memantau perjalanan ini melalui grup WhatsApp, sempat berkomentar: “Bikin iri saja perjalanan lu, Lis. Setelah berpuluh tahun, kita pernah jalan dan bertualang bersama ke Ujung Kulon.”
Beberapa teman lain menambahkan nostalgia mereka: “Jangan lupa lewatin Lebak Tipar, tempat Herry, Nanang, dan kawan-kawan melakukan caving (petualangan menyusuri gua) dulu,” kata mereka.
“Di dekat situ, di Cikembang, ada Villa Tides, milik Aristides Katopo, senior di Mapala UI dan tokoh pers nasional. Jalannya menurun sekitar tiga puluh menit ke arah lembah. Villa-nya bersih dan rapi,” tulis teman lainnya.
Pagi itu, Senin (4/8), pukul 06.30, kami berpamitan dengan ibu-ibu yang secara bergotong royong sedang membersihkan Masjid Al-Furqon. Suara kentongan menandai dimulainya kerja bakti pagi itu. Kegiatan ini membuat masjid yang luasnya sekitar 600 m² ini terlihat bersih dan rapi, termasuk toilet dan halaman parkirnya.
Hari itu, target kami adalah melewati Sawarna, menuju Desa Sumur, dan sebisa mungkin mendekati Kota Rangkas Bitung, sesuai rencana awal perjalanan.
Dari Bukit Cariang, pemandangan Pantai Sawarna tampak memikat. Hutan primer yang masih terjaga mengiringi perjalanan kami, sementara muara sungai di pantai menambah kesan alami yang memukau.
Di Muara Binuangeun, perahu nelayan ber-tenagasurya terlihat berbaris, siap meluncur ke laut, dan beberapa warung sederhana tampak asri di sepanjang jalan.
Perjalanan hari itu panjang dan melelahkan, namun penuh dengan pemandangan yang memanjakan mata.
![]() |
| Hutan primer di kawasan Bukit Cariang. |
Menjelang sore, kami melintasi hamparan desa dan hutan, hingga akhirnya sekitar pukul 19.30, kami tiba di Desa Cibaliung. Kami memutuskan untuk berhenti dan bermalam di penginapan Saur Kuring, milik Ibu Darni, yang juga memiliki warung mie bakso dengan rasa yang lezat dan memuaskan setelah seharian gowes.
Desa ini lebih besar dibanding Cilograng, dan berjarak sekitar 90 km dari Menes, lokasi yang awalnya kami rencanakan sebagai tempat bermalam sebelum melanjutkan perjalanan ke Rangkas Bitung. Kehangatan penduduk dan kenyamanan penginapan memberikan energi baru bagi kami untuk melanjutkan petualangan esok harinya.
Desa Sumur di Ujung Kulon: Titik Paling Barat Jalur Lintas Selatan
Mencapai ujung paling barat Jalur Lintas Selatan adalah pencapaian gowes yang eksotis. Ujung Kulon, sebagai taman nasional, menjadi rumah bagi satwa langka seperti Badak Jawa bercula satu, banteng, dan berbagai binatang lain. Kawasan ini merupakan surga bagi pecintaalam dan turis sejati yang ingin menikmati keindahan alam secara murni.
Selasa, (5/8), pagi itu Ai memanaskan lilin untuk merendam rantai sepedanya sebagai pengganti oli atau pelumas. Tujuannya agar rantai tetap bersih dan tidak mengotori tangan saat memindahkannya ke gear depan secara manual. Pelumasan rantai dengan lilin cair ini seharusnya dilakukan setiap 300 km, namun kali ini baru dilakukan setelah 400 km. Beruntung, kondisi rantainya tetap baik.
Setelah sarapan, pada pukul 08.18, kami berpamitan dengan Ibu Darni untuk melanjutkan perjalanan menuju Sawarna–Sumur–Labuan–Menes.
Perjalanan tidak selalu mulus. Di Desa Hegarmanah, antara Sawarna dan Sumur, ban sepeda Ai bocor karena tertusuk kawat halus sepanjang sekitar 1 cm. Beruntung, penambalan dilakukan dengan metode klasik seperti menambal ban mobil: ditekan dan dipanaskan, dan akhirnya ban kembali siap digunakan.
Pukul 11.20, kami mencapai Sumur, Ujung Kulon - titik paling barat Jalan Lintas Selatan Jawa. Lokasi ini istimewa karena merupakan lokasi target terpenting dalam gowes bersama ini, yaitu mencapai ujung paling barat JLS (Jalur Lintas Selatan) pulau Jawa.
Malam harinya, sekitar pukul 20.00, kami tiba di Menes dan memutuskan untuk menginap di Penginapan Win. Penginapan ini sederhana, dengan tarif sama dengan di Cibaliung yakni Rp 200.000 per malam untuk kamar yang cukup memuat kami bertiga dan dilengkapi fasilitas AC pula. Laundry kami bertiga pun ditangani dengan baik, dengan total biaya hanya Rp 22.000.
Setelah seharian menempuh rute menantang dan eksotis, malam itu kami menikmati suasana desa kecil yang tenang, bersiap mengisi energi untuk perjalanan esok.
Pandeglang, Rangkasbitung, Jasinga
Rabu (6/8), pukul 07.15, kami meninggalkan penginapan di Menes, memulai perjalanan menyusuri jalan Menes–Pandeglang yang mulus, tenang, dan minim kendaraan bermotor. Udara pagi yang sejuk menemani setiap kayuhan kami, sementara pemandangan pedesaan dan sawah di sisi jalan menambah semarak perjalanan.
Sesampainya di alun-alun Pandeglang, kami berhenti untuk sarapan. Sop iga yang kami santap terasa sangat nikmat, memberi energi tambahan sebelum melanjutkan perjalanan.
Setelah menyelesaikan sarapan dan menikmati secangkir teh hangat, kami melanjutkan kayuhan menuju Rangkasbitung.
Perjalanan ke Rangkasbitung terasa lebih menantang karena suhu udara mulai meningkat. Tiba di kota tersebut sekitar pukul 12.00, panas terik terasa menyengat. Untunglah, kami menemukan warung yang khusus menjual es duren. Tanpa ragu, kami masing-masing menenggak beberapa gelas, rasanya durennya segar, memberi kesejukan serta tenaga baru untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah beristirahat sekitar 45 menit, menunggu temperatur sedikit menurun, kami melanjutkan perjalanan ke Jasinga. Sekitar pukul 20.30, kami tiba di Jasinga dan langsung menuju penginapan satu-satunya di kota tersebut, yang terletak di samping alun-alun.
Kondisi penginapan sangat memuaskan. Bangunannya berupa gedung berlantai tiga yang luas, dengan ruang yang cukup untuk menampung sepeda kami bertiga di dalam. Family room yang kami tempati memiliki fasilitas AC, bersih, dan nyaman, dengan tarif Rp 450.000 per malam. Setelah menata barang dan beristirahat sejenak, kami merasa lega dan siap memulihkan tenaga untuk perjalanan esok - hari terakhir.
Malam itu, suasana tenang Jasinga dan dinginnya udara membuat kami semakin menikmati kesederhanaan perjalanan gowes yang panjang namun penuh pengalaman tak terlupakan.
Kamis, (7/8), pukul 08.13, kami meninggalkan Jasinga, mengayuh sepeda menembus udara pagi yang hangat, menuju Bogor. Lalu lintas padat, angkot silih berganti, dan temperatur udara siang itu sungguh panas menyengat.
Kami pun berhenti sejenak di masjid Leuwiliang, beristirahat, menyejukkan diri, dan menyesap air yang menyejukkan tenggorokan.
Perjalanan dilanjutkan ke Sadeng. Aroma ayam kampung bakar sudah menyambut dari jauh, dan ketika kami mencicipinya, rasanya benar-benar nikmat, membuat energi yang terkuras sepanjang jalan kembali pulih.
Pukul 14.00, kami tiba di Bogor, di Bengkel Sepeda Ropang milik Pak Teguh Wibowo, teman Ai dan Tedi. Tempat itu kami tetapkan sebagai titik finish kami bersama. Di bengkel, suasana hangat menyambut kami; segelas es juice mangga yang segar diberikan oleh Pak Teguh, menjadi pelepas dahaga yang sempurna setelah berjam-jam mengayuh pedal.
Sulis, tanpa menunggu lama, melanjutkan perjalanan menuju rumahnya di Jakarta Pusat, menambah lagi jarak tempuhnya sejauh 98 km. Di pintu pagar rumahnya, tercatat total jarak tempuhnya adalah 491 km dengan elevation gain 5.080m, melampaui ketinggian puncak Gunung Kilimanjaro di Afrika (4.900 m) dari dasar platonya (Wikipedia) yang akan didakinya pada akhir tahun 2025 bersama kawan-kawannya Mapala UI.
Sementara itu, Ai dan Tedi masih memiliki agenda lain. Mereka ke Sentul untuk singgah ke rumah Tanto yang batal ikut gowes karena hipertensinya. Selanjutnya Tedi pulang ke rumahnya di Bogor. Dari Bogor, ia meneruskan petualangannya, mengayuh sepeda hingga ke Cianjur, membiarkan angin siang perkebunan teh di puncak menyejukkan lelahnya.
Jam 18:30, Ai tiba di Cianjur dan membukukan total jarak tempuhnya 758 km dengan elevation gain 8.060 m, 12 m lebih tinggi dari puncak Mount Everest yang 8.848 mdpl (Wikipedia).
Dari Rancabali hingga Ujung Kulon dan akhirnya sampai ke Bogor, perjalanan kami terasa seperti rangkaian cerita yang hidup. Setiap jalan, setiap tanjakan dan turunan, membawa kami menelusuri keindahan alam sang Pencipta. Hamparan sawah, pepohonan yang bergoyang diterpa angin, laut biru dengan ombak yang menggelora serta langit luas tanpa batas.
Perjalanan itu bukan sekadar jarak yang ditempuh, tapi pengalaman yang membekas—pertemuan singkat dengan orang-orang baru, tawa canda yang menyenangkan, dan detik-detik hening yang memberi ruang untuk menatap diri sendiri.
Di ujung rute, ketika sepeda berhenti dan mata memandang ke cakrawala, kami menyadari betapa besar nikmat Allah yang berikan: kesehatan untuk mengayuh, teman untuk berbagi cerita, dan kesempatan menikmati indahnya perjalanan hidup yang sederhana, namun penuh berkah. Dan momen yang paling membahagiakan adalah keteika setelah petualangan yang melelahkan itu kami masing-masing pulang kembali ke rumah menemui keluarga yang menanti dengan rindu dan cinta. Alhamdulillah. ***
Kontributor: Sulistya Pribadi (Jakarta) dan Arief Budiman (Bandung)




