![]()  | 
| Panorama menawan di sekitar Puncak Habibie. | 
“Semua orang punya cara sendiri menikmati hidup dan kehidupan. Bagi kami caranya sederhana saja; salah satunya adalah dengan gowes bareng; mengayuh pedal sambil menikmati alam dan tawa yang lahir dari kebersamaan. Bukan hanya olahraga, gowes bareng juga menjadi cara kami merawat persahabatan, merengkuh kebahagiaan dan -meminjam istilah WS Rendra- menjaga daya hidup.”
Gowes bareng ini lahir dari keinginan sederhana: Tetap bergerak bersama, menyusuri keindahan alam, sekaligus merasakan keramahan masyarakat Indonesia. Kami bertiga bersepakat berangkat Sulis dari Jakarta, Ai dari Bandung, dan Tedi dari Bogor. Harusnya ada Tanto dari Sentul, tapi ia terpaksa absen setelah hasil medical check memberi ‘peringatan’. Sayang memang, tapi perjalanan tetap kami lanjutkan dengan semangat penuh.
Sulis (Sulistya Pribadi, Jakarta), Ai (Arief Budiman, Bandung), dan Tanto (Kritanto Hartadi, Sentul) berteman sejak SMA, sekelas di SMAN 8 Jakarta hingga lulus bersama pada tahun 1982. Selepas itu, pilihan kuliah membawa kami ke tempat yang berbeda. Sulis dan Tanto melanjutkan kuliah di UI, sementara Ai merantau ke Bandung untuk belajar Geologi di ITB. Kuliah di kota yang berbeda membuat kami jarang bertemu, tapi ikatan lama itu tetap lekat. Apalagi ketika Tanto masuk FISIP UI dan bertemu Tedi (Tedi Kresna Wardhana, Bogor). Lingkar pertemanan kami pun bertambah besar.
Karena perbedaan tempat tinggal (asal) dan kesibukan yang berbeda maka perjalanan gowes ini diatur dalam dua kelompok. Ai dan Tedi membentuk Grup-1, memulai kayuhan dari Rancabali pada 30 Juli. Sulis, sebagai Grup-2, berangkat belakangan, seorang diri dari Ciawi pada 2 Agustus. Kami bertiga berjanji akan bertemu di Palabuhan Ratu, lalu melanjutkan kayuhan bersama hingga garis akhir.
Selasa siang (29/7), Tedi berangkat dari Bogor menuju Bandung. Setelah tiba di Terminal Leuwipanjang, ia dijemput oleh Ai. Keduanya kemudian memilih melanjutkan perjalanan dengan taksi online menuju Perkebunan Teh Rancabali. Pertimbangannya karena jalur menuju ke sana menanjak, sempit, dan padat oleh lalu-lintas—terlalu berisiko dari aspek safety bila ditempuh dengan sepeda sejak awal. Di balik keputusan praktis itu, terselip antusiasme yang sama: perjalanan panjang ini akhirnya dimulai.
Ai punya ide untuk bukan menginap di hotel atau vila, melainkan di rumah penduduk setempat. Rasanya lebih menarik bisa berinteraksi dengan warga, sekaligus merasakan kehidupan masyarakat di kampung perkebunan teh. Supir online, Juven—akrab dipanggil Jupen—memberi saran berharga, ia mengenal seorang mandor kebun yang juga menjabat ketua RW di sana, dan mungkin bisa menampung kami.
Sampai di kampung perkebunan, Jupen langsung mengantar kami ke rumah Pak Asep dan istrinya, Bu Titin.
Awalnya Pak Asep agak sungkan menerima kami, karena merasa rumahnya tidak siap untuk tamu bermalam. Tapi setelah kami yakinkan bahwa kami tidak memerlukan fasilitas lebih dari apa yang ada, beliau akhirnya bersedia.
Malam itu, Bu Titin menyiapkan lodeh, ikan asin, dan tempe goreng, menu sederhana tapi luar biasa lezat, apalagi disantap di udara pegunungan yang dingin menusuk.
Obrolan malam bersama Pak Asep dan Bu Titin pun mengalir hangat; tentang keluarga mereka, cerita seputar perkebunan teh, hingga dinamika kehidupan masyarakat pekerja kebun. Malam itu terasa istimewa, kami seolah jadi bagian kecil dari kehidupan kampung Rancabali.
Rancabali – Naringgul – Cidaun
Jalur Rancabali–Naringgul–Cidaun sudah lama dikenal sebagai salah satu rute bersepeda terbaik di selatan Jawa Barat. Aspalnya mulus dan lebar, lalu-lintas relatif sepi, membentang di antara perkebunan teh milik PTPN dan hutan Perhutani yang berhawa sejuk. Pemandangan alamnya elok, ditambah dengan banyaknya air terjun yang tersebar di sepanjang jalur. Elevasi dimulai dari sekitar 1.550 mdpl di Rancabali hingga turun mendekati 0 mdpl, di tepi pantai Cidaun. Dalam setengah hari saja, kita bisa merasakan transisi suasana: dari dataran tinggi pegunungan selatan Bandung hingga ke pantai Samudera Hindia.
Rabu (30/7), setelah berpamitan dengan Pak Asep dan Bu Titin yang sudah berbaik hati menerima kami menginap di rumahnya, kami pun memulai perjalanan. Tak lupa kami menyampaikan sedikit tanda terima kasih sebelum akhirnya kayuhan pertama dimulai tepat pukul 06.20.
Dari Rancabali, saya dan Tedi bergerak ke arah selatan melewati Naringgul menuju Cidaun, lalu berbelok ke barat mengikuti jalur utama Jalan Lintas Selatan (JLS) hingga tiba di Sindangbarang.
Jalur Rancabali–Naringgul–Cidaun, dominan menurun namun tetap diselingi beberapa tanjakan terjal yang cukup menantang. Warung-warung sederhana cukup mudah ditemui untuk beristirahat sejenak.
Hari itu kami menutup perjalanan sekitar pukul 18.00 di Penginapan Alviena, hanya sekitar 200 meter dari Alun-Alun Sindangbarang. Total jarak tempuh tercatat 82 km dengan elevation gain (EG) 980 m, cukup nyaman sebagai pemanasan untuk etape jarak jauh berikutnya.
Penginapan Alviena sendiri cukup nyaman: tarif Rp300.000 per malam dengan kamar twin bed, ber-AC, fasilitas teh, kopi, dispenser air panas, dan keamanan terjaga. Konsepnya seperti motel, sehingga sepeda bisa diparkir tepat di depan kamar. Untuk sepeda lipat, bahkan diperbolehkan masuk ke dalam kamar. Singkatnya, tempat ini sangat ramah bagi goweser maupun motoris yang melintas di jalur JLS.
Ujung Genteng
Kami percaya bahwa perjalanan panjang dengan sepeda bukan hanya soal menempuh jarak, tetapi juga soal bagaimana setiap kayuhan membawa kita ke arah pengalaman baru. Kamis (31/7), pukul 07.15 pagi, Ai dan Tedi mulai mengayuh sepeda dari Sindangbarang menuju Ujung Genteng. Angin pagi masih terasa sejuk, dan jalanan yang membentang seakan menguji ketahanan kami.
Perjalanan itu tidak singkat. Kami baru tiba di Ujung Genteng pada pukul 22.00, setelah menempuh jarak sejauh 112 km, dengan elevasi mencapai 890 meter. Tubuh rasanya lelah, tapi ada kepuasan yang sulit dijelaskan - semacam rasa lega sekaligus bahagia karena berhasil melewati rute tersebut.
Kami menginap di Penginapan Pondok Nuansa Ujung Genteng, sebuah penginapan sederhana khas daerah wisata pantai. Tarifnya Rp 400.000 per malam, dengan fasilitas yang cukup nyaman - single bed ukuran queen, AC, dan air hangat. Halamannya asri, ditumbuhi rumput manila hijau segar dan beberapa pohon ketapang yang rimbun, membuat suasana terasa teduh.
Ada satu hal kecil yang membuat kami tersenyum: hanya sepeda lipat yang bisa dibawa masuk ke dalam kamar. Jadi, setelah perjalanan panjang itu, sepeda lipat bisa ikut beristirahat bersama, seolah bagian dari petualangan yang harus dihargai.
Tentu saja, daya tarik utama Ujung Genteng bukan sekadar penginapan atau jalannya yang menantang, melainkan Pantai Pangumbahan. Di sinilah penyu dari Samudera Hindia (Indonesia) datang untuk bertelur. Tempat ini menjadi pusat konservasi dan penangkaran penyu yang terancam punah, dan kegiatan melepas bayi penyu (tukik) ke laut lepas selalu menjadi momen yang ditunggu wisatawan, terutama anak-anak yang senang melihat tukik-tukik itu, makhluk kecil itu berlari tergesa menuju ombak pertama mereka - sebuah awal kehidupan yang penuh harapan.
![]()  | 
| Istirahat dalam perjalanan ke Geopark Ciletuh. | 
Geopark Ciletuh
Geopark Ciletuh, bukan hanya karena pesonanya yang hijau dan liar, tapi juga karena cerita geologi yang terkandung di dalamnya. Bayangkan, jutaan tahun lalu, tepat di kawasan ini, dua lempeng besar dunia, Lempeng Samudera Hindia dan Lempeng Eurasia bertemu. Lempeng Samudera Hindia kemudian menyusup ke bawah Lempeng Eurasia. Subduksi itu terjadi di Zaman Kapur, sekitar 100–66 juta tahun lalu. Seiring waktu, jalur subduksi itu bergeser, bergerak searah jarum jam ke selatan, hingga kini berada di sepanjang palung laut Samudera Hindia, di Selatan Jawa.
Jumat, (1/8), pukul 07.00 pagi, Ai dan Tedi memulai perjalanan menuju Ciletuh. Rute yang terbentang sejauh 67 km itu terdengar sederhana di atas peta, tapi setiap kayuhan pedal selalu punya cerita tersendiri. Jalan berkelok, tanjakan, turunan, dan sesekali angin yang menusuk membuat perjalanan lebih hidup, bahkan ketika kami “tersesat” di wilayah yang jalannya sangat buruk dan tidak layak gowes yang memaksa kami putar balik dan membutuhkan waktu 3jam. Namun bagi kami 3 jam itu bukan waktu sia-sia karena kami dapat menikmati area pelosok yang eksotis dan tidak pernah dilalui kendaraan roda empat.
Kami tidak terburu-buru. Setiap desa yang kami lewati seperti menambahkan detail kecil dalam mozaik perjalanan - anak-anak berangkat sekolah, warung kopi yang ramai dengan obrolan pagi, hingga hamparan sawah yang seolah tak ada habisnya. Luar biasa elok alam Indonesia.
Waktu berjalan, roda berputar, dan tubuh pun mulai merasa letih. Tapi justru di situlah nikmatnya bersepeda jarak jauh. Antara rasa lelah dan rasa ingin tahu, yang terus bersaing di dalam diri.
Akhirnya, malam itu, setelah menempuh perjalanan sepanjang 67 km, ditambah dengan selingan perkenalan dengan beberapa motorist di warung makan dan mengobrol seru ngalor-ngidul yang cukup lama, sekitar pukul 20.30 kami tiba di penginapan RedDoorz Ciletuh. Gelap sudah menyelimuti, tapi suara serangga malam dan semilir angin laut memberi sambutan hangat. Saya tahu, perjalanan esok masih menunggu. Namun malam itu, cukup lega rasanya bisa menutup hari dengan selamat di tepi salah satu geopark terindah di Indonesia, bahkan dunia.
Ciletuh-Palabuhan Ratu
Sabtu, (2/8), pukul 07.00 Ai dan Tedi mulai gowes dari Ciletuh menuju Palabuhan Ratu. Pada waktu yang hampir bersamaan, Sulis juga memulai perjalanannya secara solo dari Ciawi.
Palabuhan Ratu - atau yang sering disebut Pelabuhan Ratu, merupakan destinasi wisata klasik yang telah menarik pengunjung sejak era 1960-an. Pada masa itu, Presiden Soekarno membangun hotel Samudera Beach, hampir bersamaan dengan pembangunan Hotel Indonesia di Jakarta, hotel Ambarukmo Palace di Yogyakarta, dan hotel Bali Beach di Bali. Selain nilai sejarahnya, legenda Nyai Roro Kidul tetap hidup dan menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat.
Rute yang kami tempuh terbagi dalam dua segmen. Segmen pertama didominasi tanjakan panjang dan terjal menuju puncak-puncak yang berurutan - Bukit Panenjoan, Puncak Darma, Puncak Aher, Puncak Tugu, hingga Puncak Gebang.
Dari Geopark Ciletuh, kami lebih dulu melewati Curug Cimarinjung yang sudah tampak gagah dari kejauhan. Air terjun setinggi ± 50 meter itu jadi semacam "pintu gerbang" menuju etape menanjak berikutnya.
Tanjakan menuju Puncak Darma benar-benar menguras tenaga. Dari ketinggian sekitar 230 mdpl di Puncak Darma, pemandangan Samudera Hindia dan Teluk Ciletuh yang berbentuk tapal kuda terbentang megah. Seketika rasa lelah terbayar lunas.
Dari Puncak Darma, jalur menurun sebentar dan kembali menanjak panjang menuju puncak-puncak berikutnya, hingga akhirnya sampai di Puncak Gebang. Dari sini, kami kembali bisa melihat Teluk Ciletuh dari sudut yang berbeda.
Setelah itu, segmen ke dua dimulai dengan turunan panjang dengan kelokan tajam. Bagian paling menantang tentu di Turunan Dini, yang dari arah sebaliknya dikenal sebagai Tanjakan Dini. Turunannya begitu curam sehingga kami harus benar-benar fokus, menjaga ban tidak slip saat melakukan pengereman sebagai mana sistem ABS (anti-lock Braking System) pada kendaraan bermotor - dan waspada terhadap kendaraan bermotor dari arah depan - terutama mobil yang biasanya sedang "berjuang" menanjak.
Sepanjang perjalanan, kami terus berkoordinasi dengan Sulis yang diperkirakan akan lebih dulu tiba di Palabuhan Ratu dan meminta bantuannya untuk mencari dan memutuskan penginapan di sana.
Perjalanan Sulis
Pagi itu, Sulis sendiri berangkat dari kawasan Jakarta Pusat, menuju Terminal Senen untuk naik bus ke Ciawi. Tiba sebelum pukul 08:00. Setelah menyiapkan tas sepeda gravelnya, pukul 08:00, dia mulai bersepeda solo ke Sukabumi, mengambil jalur Cikidang menuju Palabuhan Ratu, dengan jarak tempuh sekitar 70 km. Jalur ini lebih sepi dan asri dibanding melalui Cibadak, meski tanjakannya terasa lebih menantang.
Sekitar pukul 11.00, Sulis berbelok ke arah Cikidang. Jalannya sepi, pemandangan asri, tapi tanjakan-turunannya memang “maut”.
Ia sempat istirahat makan siang dekat Sungai Citarik yang banyak terdapat operator arung jeram. Targetnya sederhana: tiba di Palabuhan Ratu sebelum Magrib agar bisa bersamaan dengan Ai dan Tedi.
Akhirnya, sore itu Sulis sudah sampai lebih dulu di kota dan mencari penginapan. Berbekal informasi dari seorang polisi yang berjaga di ujung Jalan Siliwangi, ia memilih Hotel Petra, sebuah hotel melati yang bersih dan cukup nyaman, di dekat alun-alun kota.
Ai tiba di alun-alun Palabuhan Ratu sekitar pukul 18.00 dan sempat berhenti sebentar di depan Kantor Bupati untuk berbincang dengan satpam yang ramah sekaligus minta tolong diambilkan foto dengan latar alun-alun. Lalu ia lanjut ke Hotel Petra dan tiba pukul 18.15. Lima menit kemudian, Tedi tiba.
Malam itu akhirnya kami bertiga lengkap dalam satu rombongan. Rasa lelah perjalanan panjang hari itu terbayar dengan pertemuan dan tawa bersama.
(BERSAMBUNG KE BAGIAN #2)


